Sabtu, 27 Oktober 2012

TEORI BEHAVIORISTIK




TEORI BEHAVIORISTIK
Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikolinguistik
Dosen pengampu : Ibu Yuli Kuswandari

Disusun Oleh:
Nadhif Syihabuddin
M. Kasim Barkah
Fuad Ghufron
Andi Kholilullah
Yuniar Eka R.
Nafi’atul Fadlilah
Syarif Ahmad Zaki
Shohibul Hakim

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN
            Psikolinguistik atau psikologi bahasa ialah kajian faktor-faktor psikologi dan neurobiologi yang membolehkan manusia memperoleh, menggunakan, dan memahami bahasa. Dalam pemerolehan bahasa sendiri ada berbagai tahapan-tahapan atau cara yang berbeda-beda dalam pemerolehannya. Dari sini para ilmuan melakukan penelitian tentang bagaimana bahasa itu diperoleh, sehingga muncul lah berbagai aliran psikolingustik. Diantaranya adalah aliran behaviorisme, alitan kognitif, mentalistik dan lainnnya.
Dari adanya berbagai aliran psikolinguistik tersebut, bisa dilihat bahwa masing-masing pencetus teori atau aliran tersebut memiliki pandangan yang berbeda terkait bagaimana bahasa tersebut bisa diperoleh.
Dalam makalah ini, kami akan menjelaskan teori behaviorisme serta siapa saja pencetus teori ini. Penjelasan lebih lanjut akan dibahas dalam makalah ini pada bagian pembahasannya.
Semoga makalah ini bermanfaat dan bisa menambah wawasan kita tentang psikolinguistik.
           

Yogyakarta, 12 Oktober 2012

Penyusun





BAB II
PEMBAHASAN (ISI)
TEORI BEHAVIORISTIK
Behaviorisme dari kata behave yang berarti berperilaku dan isme berarti aliran. Behavorisme merupakan pendekatan dalam psikologi yang didasarkan atas proposisi (gagasan awal) bahwa perilaku dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah. Dalam melakukan penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan mental.
Jadi, karakteristik esensial dari pendekatan behaviorisme terhadap belajar adalah pemahaman terhadap kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi perilaku seseorang, bukan pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal lain dalam diri orang tersebut. Fokus behaviorisme adalah respons terhadap berbagai tipe stimulus. (gagasan awal) bahwa perilaku dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah. Dalam melakukan penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan mental.
Teori behavioristik disebut teori stimulus-respon karena teori ini memiliki dasar pandangan bahwa perilaku itu termasuk perilaku bahasa bermula dengan adanya stimulus  (rangsangan, aksi) yang segera menimbulkan respon (reaksi, gerak balas).[1]
Teori ini dipelopori oleh Pavlov,  Edward Erdwad Lee Thorndike,  Watson, Guthrie, Skinner, Hull, Osgood, dan  Mouwer.
a.       Teori Pembiasaan Klasik dari Pavlov (1848-1936)
Teori pembiasaan klasik ini merupakan teori pertama dalam teori stimulus- respon. Teori  ini ditemukan oleh Ivan P. Pavlov (1848-1936). Teori Pavlov berkembang dari percobaan  laboratoris terhadap anjing. Dalam percobaan ini, anjing diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing.[2] Ketika Pavlov melakukan eksperimen mengenai proses pencernaan hewan, dia mendapati bahwa sebelum seekor anjing memulai memakan makanan, air liurnya terlebih dahulu keluar. Setiap kali anjing yang diamati melihat makanan, air liur anjing selalu keluar. Untuk percobaan berikutnya yakni dia membunyikan lonceng sebelum anjing diberi makan. Sebelumnya, dengan pembunyian lonceng saja, tanpa  diikuti pemberian makanan, tidak pernah membuat anjing mengeluarkan air liurnya. Namun, dengan pemberian makanan, membuat anjing itu meneluarkan air liurnya. Disini berarti anjing telah “mempelajari” bahwa bunyi lonceng bermakna makanan akan muncul dan oleh karena itu, air liurnya akan keluar. Anjing tersebut telah belajar mengasosiasikan bunyi lonceng dengan makanan. Bunyi lonceng menjadi stimulus dengan pengkondisian, dan keluarnya air liur anjing disebut respons dengan pengkondisian.
Eksperimen Pavlov dengan anjing itu terdiri dari empat elemen terpisah yang selalu muncul dalam teori pembiasaan klasik yaitu :
1)      Stimulus yang tidak dibiasakan (STD) seperti, makanan yang selalu membangkitkan reaksi tertentu yaitu mengeluarkan air liur.
2)      Respons tidak dibiasakan (RTD) seperti, reaksi mengeluarkan air liur yang selalu keluar apabila STD muncul.
3)      Stimulus yang dibiasakan (SD) seperti, bunyi lonceng yaitu satu peristiwa yang pada mulanya sebelum dilazimkan tidak membangkitkan respons yang dikehendaki.
4)      Respons yang dibiasakan (RD) seperti, mengeluarkan air liur setelah hanya mendengar bunyi lonceng yaitu perilaku yang dipelajari oleh anjing setelah terjadinya stimulus yang dilazimkan.
Dari eksperimen itu, Pavlov beranggapan bahwa pembelajaran merupakan rangkaian panjang dari respons-respons yang dibiasakan (RD) ini sehingga menurut Pavlov, respons yang dibiasakan adalah unit pembelajaran yang paling baik.

b.      Teori Penghubungan dari Thorndike (1874-1919)
Menurut Thorndike, belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Teori ini sering pula disebut  “trial and error learning”, individu yang belajar melakukan kegiatan melalui proses “trial-and-error” dalam rangka memilih respon yang tepat bagi stimulus tersebut.[3]
Thorndike melakukan eksperimen terhadap seekor kucing di dalam sebuah sangkar besar. Sangkar itu dapat dibuka dari dalam dengan menekan sebuah engsel. Dalam usahanya untuk keluar, kucing itu mencakar-cakar kesana kemari; lalu secara kebetulan kakinya menginjak engsel sehingga pintu sangkar pun terbuka dan dia bisa keluar. Eksperimen itu diulang oleh Thorndike dan kucing pun berperangai yang sama. Setelah eksperimen itu beberapa kali dilakukan berturut-turut jumlah waktu yang diperlukan oleh kucing untuk membuka pintu sangkar itu semakin sedikit; dan akhirnya dia dapat membuka pintu sangkar itu dengan segera tanpa harus mencakar dulu ke sanakemari.
Dari eksperimen di atas Thorndike menyimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses menghubung-hubungkan di dalam sistem syaraf dan tidak ada hubungannya dengan insight atau pengertian. Oleh karena itu, teori pembelajarannya disebut connectionism atau S-R bond theory ( teori gabungan stimulus-respons). Yang dihubung-hubungkan di dalam sistem saraf adalah peristiwa-peristiwa fisik dan mental dalam proses pembelajaran itu. Kedua jenis peristiwa ini dihubung-hubungkan dalam beberapa macam gabungan seperti peristiwa mental dihubungkan dengan peristiwa fisik, peristiwa fisik dengan peristiwa mental, peristiwa mental dengan peristiwa mental, peristiwa fisik dengan peristiwa fisik. Yang dimaksud dengan peristiwa mental (akal) adalah segala hal yang dapat dirasakan dengan pikiran (mental) sedangkan peristiwa fisik adalah segala rangsangan (stimulus) dan gerak balas (respons).
Dari percobaan terhadap binatang-binatang itu, Thorndike mengemukakan hukum pembelajaran :
1)   Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu jika reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk bertindak atau bereaksi, maka reaksi menjadi memuaskan.
2)   Hukum latihan (law of excercise), yaitu makin banyak dipraktikkan atau digunakannya hubungan stimulus respons, makin kuat hubungan itu. Praktik perlu disertai dengan “reward.”
3)   Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respons cenderung diperkuat bila akibatnya memuaskan dan cenderung diperlemah bila akibatnya tidak memuaskan.[4]
Jadi, teori ini pada dasarnya menyarankan tiga prinsip yang dapat dirumuskan sebagai berikut:[5]
1)   Jika suatu organisme bersedia melakukan tindakan, maka menyelesaikan suatu perbuatan itu akan menimbulakn kepuasan hati.
2)   Hubungan-hubungan S-R dapat diperkuat melalui latihan-latihan.
3)   Jika satu urutan rangsangan (stimulus)-gerak bebas (respons) diikuti oleh suatu keadaan yang memuaskan hati, maka hubungan S-R itu akan diperkuat; sementara pengganggu akan menghentikan pengulangan hubungan itu.

c.       Teori Behaviorisme dari Watson (1878-1958)
Teori behaviorisme merupakan kelanjutan dari teori pembiasaan klasik oleh Pavlov dalam bentuk baru dan yang lebih terperinci serta didukun oleh eksperimen baru dengan binatang (tikus) dan anak kecil (bayi). Watson berpendapat bahwa belajar merupakan proses terjadinya respons-respons melalui stimulus pengganti.
Watson mengadakan eksperimen terhadap Albert seorang bayi berumur 11 bulan. Pada mulanya Albert tidak takut terhadap binatang seperti tikus putih berbulu halus. Albert senang sekali bermain-main dengan tikus putih yang berbulu cantik itu. Dalam eksperimen ini, Watson memulai proses pembiasaannya dengan cara memukul sebatang besi dengan sebuah palu setiap kali Albert ingin mendekati dan ingin memegang tikus putih itu. Akibatnya, tidak lama kemudianAlbert menjadi takut terhadap tikus putih itu, dan juga terhadap kelinci putih. Bahkan juga terhadap semua benda berbulu putih, termasuk jaket dan topeng Sinterklas berjanggut putih. Dengan eksperimen itu Watson menyatakan bahwa dia telah berhasil membuktikan bahwa pelaziman dapat merubah perilaku seseorang menjadi nyata.
d.      Teori Kesegaran dari Guthrie (1886-1959)
Menurut Guthrie kesegeraan hubungan diantara satu gabungan stimulus-respons akan memperbesar kemungkinan berulangnya pola stimulus-respons ini. Terjadinya respons yang segera dari gabungan stimulus-respons merupakan pembelajaran itu sendiri. Jadi, kesegeraan merupakan kunci pembelajaran dari teori ini.
Menurut Guthrie, pembelajaran berlangsung secara coba-tunggal (single-trial). Oleh karena itu, latihan dan ulangan diperlukan untuk membiasakan stimulus baru untuk menimbulkan respons yang dikehendaki. Jika respons yang dikehendaki ini terjadi berulang-ulang, maka organisme akan kurang cenderung untuk memberikan respons yang lain. Dalam pembelajaran bahasa asing misalnya, setiap bagian dari kalimat yang betul harus diusahakan agar berhubungan stimulusnya, sehingga sebuah kalimat yang betul akan berkembang melalui latihan.
Pembelajaran coba-tunggal yang dianjurkan oleh Guthrie ini memerlukan pengaturan keadaan sedemikian rupa sehingga stimulus-stimulus yang diberikan haruslah menimbulkan respons-respons yang betul. Oleh karena itu, kesalahan-kasalahan haruslah dihilangkan dengan cara mengkaji stimulus dengan seksama agar menimbulkan respons yang betul bersama-sama dengan stimulusnya.
e.       Teori pembiasaan Operan dari Skinner
Teori tentang pembiasaan operan dapat dijelaskan dengan percobaan skinner terhadap seekor tikus. Di dalam sebuah kotak yang disebut dengan kotak skinner terdapat sebuah kaleng tempat makanan, dan di luar kotak terdapat semacam alat untuk menjatuhkan biji-biji makanan ke dalam kaleng itu. Setiap kali biji makanan jatuh ke dalam kaleng akan terdengar bunyi “ting” yang nyaring; dan apabila bunyi “ting” terdengar berarti ada makanan jatuh ke dalam kaleng tersebut. Seekor tikus dimasukkan ke dalam kotak skinner itu. Biji-biji makanan akan jatuh ke dalam kaleng jika sebatang besi yang disisipkan ke dalam kotak itu dipijak oleh tikus. Pada waktu tikus itu lapar secara kebetulan batang besi itu terpijak olehnya, dan biji-biji makanan pun jatuh ke dalam kaleng. Setelah beberapa kali terjadi, tikus itu “mengetahui” bahwa apabila dia menekan batang besi maka makanan akan jatuh ke dalam kaleng.
Biji makanan itu adalah penguat (reinforcer); peristiwa penekanan batang besi disebut peristiwa penguatan (reinforcing event); munculnya makanan disebut rangsangan penguat (reinforcing stimulus); sedangkan perilaku tikus adalah perilaku yang dibiasakan (conditioned respons).
Perilaku yang dibiasakan bersifat “operan” di dalam perilaku ini menyebabkan munculnya biji makanan. Tingkah laku yang operan mempunyai pengaruh terhadap lingkungan; dan lingkungan yang dipengaruhi ini memberikan hadiah sebagai penguatan kepada pelaku yang mengeluarkan perilaku tersebut. Hadiah yang menjadi penguat inilah (yang dalam eksperimen di atas berupa biji-biji makanan) yang menyebabkan tikus itu akan lebih cenderung untuk menekan batang besi itu.
Dari percobaan itu, Skinner menarik kesimpulan bahwa penguatan (reinforcement) selalu menambah kemungkinan berulangnya suatu perilaku. Karena itu, beliau berpendapat bahwa penguatan harus cepat dilakukan sebelum tingkah laku lain mengganggu dan agar hasil yang maksimal dapat diperoleh. Selanjutnya, karena penekanan akan perlunya penguatan juga mendasari teori ini, maka teori pelaziman instrumental ini sering disifatkan sebagai model S-R-R yaitu stimulus-respons-reinforcement. Dalam percobaan di atas, perilaku yang dibiasakan yaitu menekan batang besi telah bersifat instrumental untuk mendapatkan hadiah, yakni biji makanan ataupun kemungkinan mendapatkan hukuman.
Bagi Skinner, perilaku berbahasa lebih banyak dipengaruhi atau disebabkan oleh rangsangan (stimulus) dari luar serta pengukuhan (reinforcement) dari rangsangan itu. Dia juga tidak menerima akan adanya “kepandaian yang dibawa sejak lahir” dalam pembelajaran berbahasa itu semata-mata diperoleh sebagai hasil rangsangan dan pengukuhan terhadap rangsangan itu.
Mengrnai akuisisi atau pemerolehan bahasa ibu oleh kanak-kanak Skinner berpendapat bahawa pemerolehan itu berlangsung secara berangsur-angsur mengikuti peristiwa-peristiwa tertentu (Skinner, 1974 : 94).














BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Teori behavioristik disebut teori stimulus-respon karena teori ini memiliki dasar pandangan bahwa perilaku itu termasuk perilaku bahasa bermula dengan adanya stimulus  (rangsangan, aksi) yang segera menimbulkan respon (reaksi, gerak balas).
Teori ini dipelopori oleh Pavlov,  Edward Erdwad Lee Thorndike,  Watson, Guthrie, Skinner, Hull, Osgood, dan  Mouwer.
Teori Pembiasaan Klasik dari Pavlov (1848-1936), merupakan teori pertama dalam teori stimulus- respon. Teori Pavlov berkembang dari percobaan  laboratoris terhadap anjing. Dalam percobaan ini, anjing diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing
Menurut Teori penghubungan  dari Thorndike, belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Teori ini sering pula disebut  “trial and error learning”, individu yang belajar melakukan kegiatan melalui proses “trial-and-error” dalam rangka memilih respon yang tepat bagi stimulus tersebut.
Teori Behaviorisme dari Watson (1878-1958) merupakan kelanjutan dari teori pembiasaan klasik oleh Pavlov dalam bentuk baru dan yang lebih terperinci
Menurut Guthrie kesegeraan hubungan diantara satu gabungan stimulus-respons akan memperbesar kemungkinan berulangnya pola stimulus-respons ini. Kesegeraan merupakan kunci pembelajaran dari teori ini.
Teori tentang pembiasaan operan dapat dijelaskan dengan percobaan skinner terhadap seekor tikus.




DAFTAR PUSTAKA

Chaer.abdul.2003.Psikolinguistik Kajian Teoritik.Jakarta:Asdi Mahasatya
Dalyono.2007.Psikologi Pendidikan.Jakarta:Rhineka Cipta
Sugihartono,dkk.2007.Psikologi Pendidikan.Yogyakarta:UNY Press
Syakur.nazri.2008.Proses Psikologi Dalam Pemerolehan dan Belajar Bahasa (Seri Psikolinguistik)


[1] Abdul chaer. Psikolinguistik kajian teoritik.hlm 84
[2] Dalyono. Psikologi Pendidikan.hlm 32
[3] Dalyono.Psikologi Pendidikan.hlm 30
[4] Sugihartono,dkk.Psikologi Pendidikan.hlm 92
[5] Abdul chaer. Psikolinguistik Kajian Teoritik.hlm 87