TEORI BEHAVIORISTIK
Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Psikolinguistik
Dosen pengampu : Ibu Yuli Kuswandari
Disusun Oleh:
Nadhif Syihabuddin
M. Kasim Barkah
Fuad Ghufron
Andi Kholilullah
Yuniar Eka R.
Nafi’atul Fadlilah
Syarif Ahmad Zaki
Shohibul Hakim
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Psikolinguistik atau
psikologi bahasa ialah kajian faktor-faktor psikologi dan neurobiologi yang membolehkan
manusia memperoleh, menggunakan, dan memahami bahasa. Dalam pemerolehan bahasa sendiri ada berbagai
tahapan-tahapan atau cara yang berbeda-beda dalam pemerolehannya. Dari sini
para ilmuan melakukan penelitian tentang bagaimana bahasa itu diperoleh,
sehingga muncul lah berbagai aliran psikolingustik. Diantaranya adalah aliran
behaviorisme, alitan kognitif, mentalistik dan lainnnya.
Dari adanya berbagai aliran psikolinguistik tersebut,
bisa dilihat bahwa masing-masing pencetus teori atau aliran tersebut memiliki
pandangan yang berbeda terkait bagaimana bahasa tersebut bisa diperoleh.
Dalam makalah ini, kami akan menjelaskan teori
behaviorisme serta siapa saja pencetus teori ini. Penjelasan lebih lanjut akan
dibahas dalam makalah ini pada bagian pembahasannya.
Semoga makalah ini bermanfaat dan bisa menambah wawasan
kita tentang psikolinguistik.
Yogyakarta,
12 Oktober 2012
Penyusun
BAB II
PEMBAHASAN (ISI)
TEORI BEHAVIORISTIK
Behaviorisme
dari kata behave yang berarti berperilaku dan isme berarti aliran. Behavorisme
merupakan pendekatan dalam psikologi yang didasarkan atas proposisi (gagasan
awal) bahwa perilaku dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah. Dalam melakukan
penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan mental.
Jadi,
karakteristik esensial dari pendekatan behaviorisme terhadap belajar adalah pemahaman
terhadap kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi perilaku seseorang,
bukan pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal lain dalam diri orang tersebut.
Fokus behaviorisme adalah respons terhadap berbagai tipe stimulus. (gagasan awal)
bahwa perilaku dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah. Dalam melakukan
penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan mental.
Teori behavioristik disebut teori stimulus-respon karena teori ini
memiliki dasar pandangan bahwa perilaku itu termasuk perilaku bahasa bermula
dengan adanya stimulus (rangsangan,
aksi) yang segera menimbulkan respon (reaksi, gerak balas).[1]
Teori ini dipelopori oleh Pavlov,
Edward Erdwad Lee Thorndike,
Watson, Guthrie, Skinner, Hull, Osgood, dan Mouwer.
a.
Teori Pembiasaan Klasik dari Pavlov (1848-1936)
Teori
pembiasaan klasik ini merupakan teori pertama dalam teori stimulus- respon.
Teori ini ditemukan oleh Ivan P. Pavlov
(1848-1936). Teori Pavlov berkembang dari percobaan laboratoris terhadap anjing. Dalam percobaan
ini, anjing diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada
anjing.[2]
Ketika Pavlov melakukan eksperimen mengenai proses pencernaan hewan, dia
mendapati bahwa sebelum seekor anjing memulai memakan makanan, air liurnya
terlebih dahulu keluar. Setiap kali anjing yang diamati melihat makanan, air
liur anjing selalu keluar. Untuk percobaan berikutnya yakni dia membunyikan
lonceng sebelum anjing diberi makan. Sebelumnya, dengan pembunyian lonceng saja,
tanpa diikuti pemberian makanan, tidak
pernah membuat anjing mengeluarkan air liurnya. Namun, dengan pemberian
makanan, membuat anjing itu meneluarkan air liurnya. Disini berarti anjing
telah “mempelajari” bahwa bunyi lonceng bermakna makanan akan muncul dan oleh
karena itu, air liurnya akan keluar. Anjing tersebut telah belajar
mengasosiasikan bunyi lonceng dengan
makanan. Bunyi lonceng menjadi stimulus dengan pengkondisian, dan keluarnya
air liur anjing disebut respons dengan pengkondisian.
Eksperimen Pavlov dengan anjing itu terdiri dari empat elemen
terpisah yang selalu muncul dalam teori pembiasaan klasik yaitu :
1)
Stimulus yang tidak dibiasakan (STD) seperti, makanan yang selalu membangkitkan reaksi tertentu yaitu
mengeluarkan air liur.
2)
Respons tidak dibiasakan (RTD) seperti, reaksi mengeluarkan air liur yang selalu keluar apabila
STD muncul.
3)
Stimulus yang dibiasakan (SD) seperti, bunyi lonceng yaitu satu peristiwa yang pada mulanya sebelum
dilazimkan tidak membangkitkan respons yang dikehendaki.
4)
Respons yang dibiasakan (RD) seperti, mengeluarkan air liur setelah hanya mendengar bunyi
lonceng yaitu perilaku yang dipelajari oleh anjing setelah terjadinya stimulus
yang dilazimkan.
Dari eksperimen itu, Pavlov beranggapan bahwa pembelajaran
merupakan rangkaian panjang dari respons-respons yang dibiasakan (RD) ini
sehingga menurut Pavlov, respons yang dibiasakan adalah unit pembelajaran yang
paling baik.
b.
Teori Penghubungan dari Thorndike (1874-1919)
Menurut Thorndike, belajar merupakan proses pembentukan
koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Teori ini sering pula disebut “trial and error learning”, individu yang
belajar melakukan kegiatan melalui proses “trial-and-error” dalam rangka
memilih respon yang tepat bagi stimulus tersebut.[3]
Thorndike melakukan eksperimen terhadap seekor kucing di dalam
sebuah sangkar besar. Sangkar itu dapat dibuka dari dalam dengan menekan sebuah
engsel. Dalam usahanya untuk keluar, kucing itu mencakar-cakar kesana kemari;
lalu secara kebetulan kakinya menginjak engsel sehingga pintu sangkar pun
terbuka dan dia bisa keluar. Eksperimen itu diulang oleh Thorndike dan kucing
pun berperangai yang sama. Setelah eksperimen itu beberapa kali dilakukan
berturut-turut jumlah waktu yang diperlukan oleh kucing untuk membuka pintu
sangkar itu semakin sedikit; dan akhirnya dia dapat membuka pintu sangkar itu
dengan segera tanpa harus mencakar dulu ke sanakemari.
Dari eksperimen di atas Thorndike menyimpulkan bahwa pembelajaran
merupakan suatu proses menghubung-hubungkan di dalam sistem syaraf dan tidak
ada hubungannya dengan insight atau pengertian. Oleh karena itu, teori
pembelajarannya disebut connectionism atau S-R bond theory ( teori gabungan
stimulus-respons). Yang dihubung-hubungkan di dalam sistem saraf adalah
peristiwa-peristiwa fisik dan mental dalam proses pembelajaran itu. Kedua jenis
peristiwa ini dihubung-hubungkan dalam beberapa macam gabungan seperti
peristiwa mental dihubungkan dengan peristiwa fisik, peristiwa fisik dengan
peristiwa mental, peristiwa mental dengan peristiwa mental, peristiwa fisik
dengan peristiwa fisik. Yang dimaksud dengan peristiwa mental (akal) adalah
segala hal yang dapat dirasakan dengan pikiran (mental) sedangkan peristiwa
fisik adalah segala rangsangan (stimulus) dan gerak balas (respons).
Dari percobaan terhadap binatang-binatang itu, Thorndike
mengemukakan hukum pembelajaran :
1)
Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu jika reaksi terhadap
stimulus didukung oleh kesiapan untuk bertindak atau bereaksi, maka reaksi
menjadi memuaskan.
2)
Hukum latihan (law of excercise), yaitu makin banyak dipraktikkan
atau digunakannya hubungan stimulus respons, makin kuat hubungan itu. Praktik
perlu disertai dengan “reward.”
3)
Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respons
cenderung diperkuat bila akibatnya memuaskan dan cenderung diperlemah bila
akibatnya tidak memuaskan.[4]
Jadi, teori ini pada dasarnya menyarankan tiga prinsip yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:[5]
1)
Jika suatu organisme bersedia melakukan tindakan, maka
menyelesaikan suatu perbuatan itu akan menimbulakn kepuasan hati.
2)
Hubungan-hubungan S-R dapat diperkuat melalui latihan-latihan.
3)
Jika satu urutan rangsangan (stimulus)-gerak bebas (respons)
diikuti oleh suatu keadaan yang memuaskan hati, maka hubungan S-R itu akan
diperkuat; sementara pengganggu akan menghentikan pengulangan hubungan itu.
c.
Teori Behaviorisme dari Watson (1878-1958)
Teori behaviorisme merupakan kelanjutan dari teori pembiasaan
klasik oleh Pavlov dalam bentuk baru dan yang lebih terperinci serta didukun
oleh eksperimen baru dengan binatang (tikus) dan anak kecil (bayi). Watson
berpendapat bahwa belajar merupakan proses terjadinya respons-respons melalui
stimulus pengganti.
Watson mengadakan eksperimen terhadap Albert seorang bayi berumur
11 bulan. Pada mulanya Albert tidak takut terhadap binatang seperti tikus putih
berbulu halus. Albert senang sekali bermain-main dengan tikus putih yang
berbulu cantik itu. Dalam eksperimen ini, Watson memulai proses pembiasaannya
dengan cara memukul sebatang besi dengan sebuah palu setiap kali Albert ingin
mendekati dan ingin memegang tikus putih itu. Akibatnya, tidak lama
kemudianAlbert menjadi takut terhadap tikus putih itu, dan juga terhadap
kelinci putih. Bahkan juga terhadap semua benda berbulu putih, termasuk jaket
dan topeng Sinterklas berjanggut putih. Dengan eksperimen itu Watson menyatakan
bahwa dia telah berhasil membuktikan bahwa pelaziman dapat merubah perilaku
seseorang menjadi nyata.
d.
Teori Kesegaran dari Guthrie (1886-1959)
Menurut Guthrie kesegeraan hubungan diantara satu gabungan
stimulus-respons akan memperbesar kemungkinan berulangnya pola stimulus-respons
ini. Terjadinya respons yang segera dari gabungan stimulus-respons merupakan
pembelajaran itu sendiri. Jadi, kesegeraan merupakan kunci pembelajaran dari
teori ini.
Menurut Guthrie, pembelajaran berlangsung secara coba-tunggal
(single-trial). Oleh karena itu, latihan dan ulangan diperlukan untuk membiasakan
stimulus baru untuk menimbulkan respons yang dikehendaki. Jika respons yang
dikehendaki ini terjadi berulang-ulang, maka organisme akan kurang cenderung
untuk memberikan respons yang lain. Dalam pembelajaran bahasa asing misalnya,
setiap bagian dari kalimat yang betul harus diusahakan agar berhubungan
stimulusnya, sehingga sebuah kalimat yang betul akan berkembang melalui
latihan.
Pembelajaran coba-tunggal yang dianjurkan oleh Guthrie ini
memerlukan pengaturan keadaan sedemikian rupa sehingga stimulus-stimulus yang
diberikan haruslah menimbulkan respons-respons yang betul. Oleh karena itu,
kesalahan-kasalahan haruslah dihilangkan dengan cara mengkaji stimulus dengan
seksama agar menimbulkan respons yang betul bersama-sama dengan stimulusnya.
e.
Teori pembiasaan Operan dari Skinner
Teori tentang pembiasaan operan dapat dijelaskan dengan percobaan
skinner terhadap seekor tikus. Di dalam sebuah kotak yang disebut dengan kotak
skinner terdapat sebuah kaleng tempat makanan, dan di luar kotak terdapat semacam
alat untuk menjatuhkan biji-biji makanan ke dalam kaleng itu. Setiap kali biji
makanan jatuh ke dalam kaleng akan terdengar bunyi “ting” yang nyaring; dan
apabila bunyi “ting” terdengar berarti ada makanan jatuh ke dalam kaleng
tersebut. Seekor tikus dimasukkan ke dalam kotak skinner itu. Biji-biji makanan
akan jatuh ke dalam kaleng jika sebatang besi yang disisipkan ke dalam kotak
itu dipijak oleh tikus. Pada waktu tikus itu lapar secara kebetulan batang besi
itu terpijak olehnya, dan biji-biji makanan pun jatuh ke dalam kaleng. Setelah
beberapa kali terjadi, tikus itu “mengetahui” bahwa apabila dia menekan batang
besi maka makanan akan jatuh ke dalam kaleng.
Biji makanan itu adalah penguat (reinforcer); peristiwa penekanan
batang besi disebut peristiwa penguatan (reinforcing event); munculnya makanan
disebut rangsangan penguat (reinforcing stimulus); sedangkan perilaku tikus
adalah perilaku yang dibiasakan (conditioned respons).
Perilaku yang dibiasakan bersifat “operan” di dalam perilaku ini
menyebabkan munculnya biji makanan. Tingkah laku yang operan mempunyai pengaruh
terhadap lingkungan; dan lingkungan yang dipengaruhi ini memberikan hadiah
sebagai penguatan kepada pelaku yang mengeluarkan perilaku tersebut. Hadiah
yang menjadi penguat inilah (yang dalam eksperimen di atas berupa biji-biji
makanan) yang menyebabkan tikus itu akan lebih cenderung untuk menekan batang
besi itu.
Dari percobaan itu, Skinner menarik kesimpulan bahwa penguatan
(reinforcement) selalu menambah kemungkinan berulangnya suatu perilaku. Karena
itu, beliau berpendapat bahwa penguatan harus cepat dilakukan sebelum tingkah
laku lain mengganggu dan agar hasil yang maksimal dapat diperoleh. Selanjutnya,
karena penekanan akan perlunya penguatan juga mendasari teori ini, maka teori
pelaziman instrumental ini sering disifatkan sebagai model S-R-R yaitu
stimulus-respons-reinforcement. Dalam percobaan di atas, perilaku yang
dibiasakan yaitu menekan batang besi telah bersifat instrumental untuk
mendapatkan hadiah, yakni biji makanan ataupun kemungkinan mendapatkan hukuman.
Bagi Skinner, perilaku berbahasa lebih banyak dipengaruhi atau
disebabkan oleh rangsangan (stimulus) dari luar serta pengukuhan
(reinforcement) dari rangsangan itu. Dia juga tidak menerima akan adanya
“kepandaian yang dibawa sejak lahir” dalam pembelajaran berbahasa itu
semata-mata diperoleh sebagai hasil rangsangan dan pengukuhan terhadap
rangsangan itu.
Mengrnai akuisisi atau pemerolehan bahasa ibu oleh kanak-kanak
Skinner berpendapat bahawa pemerolehan itu berlangsung secara berangsur-angsur
mengikuti peristiwa-peristiwa tertentu (Skinner, 1974 : 94).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Teori behavioristik disebut teori stimulus-respon karena teori ini
memiliki dasar pandangan bahwa perilaku itu termasuk perilaku bahasa bermula
dengan adanya stimulus (rangsangan,
aksi) yang segera menimbulkan respon (reaksi, gerak balas).
Teori ini dipelopori oleh Pavlov,
Edward Erdwad Lee Thorndike,
Watson, Guthrie, Skinner, Hull, Osgood, dan Mouwer.
Teori Pembiasaan Klasik dari Pavlov (1848-1936), merupakan
teori pertama dalam teori stimulus- respon. Teori Pavlov berkembang dari
percobaan laboratoris terhadap anjing. Dalam percobaan
ini, anjing diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada
anjing
Menurut Teori
penghubungan dari
Thorndike, belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara
stimulus dan respons. Teori ini sering pula disebut “trial and error learning”, individu yang
belajar melakukan kegiatan melalui proses “trial-and-error” dalam rangka
memilih respon yang tepat bagi stimulus tersebut.
Teori Behaviorisme dari Watson (1878-1958) merupakan
kelanjutan dari teori pembiasaan klasik oleh Pavlov dalam bentuk baru dan yang
lebih terperinci
Menurut Guthrie kesegeraan hubungan diantara satu gabungan
stimulus-respons akan memperbesar kemungkinan berulangnya pola stimulus-respons
ini. Kesegeraan
merupakan kunci pembelajaran dari teori ini.
Teori tentang pembiasaan operan dapat dijelaskan dengan
percobaan skinner terhadap seekor tikus.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer.abdul.2003.Psikolinguistik
Kajian Teoritik.Jakarta:Asdi Mahasatya
Dalyono.2007.Psikologi
Pendidikan.Jakarta:Rhineka Cipta
Sugihartono,dkk.2007.Psikologi
Pendidikan.Yogyakarta:UNY Press
Syakur.nazri.2008.Proses
Psikologi Dalam Pemerolehan dan Belajar Bahasa (Seri Psikolinguistik)